SUARAKARAWANG.COM | Kenapa Tik Tok, kenapa nggak perangkat gamelan saja atau instrumen tradisional lain – yang sudah dimodif, hasil olah kreasi dan inovatif – kalau cuma untuk sebuah kampanye program pemerintah, dan ngapain juga diselipkan dalam rangkaian perhelatan even besar semacam “Hari Jadi” sebuah kota, tentu HUT kota adalah kebanggaan tersendiri bagi setiap penduduk suatu wilayah atau negara. Dalam hal ini, tentu saja HUT Karawang ke 389?!
Pengusung lomba itu tiada lain Dinas Kesehatan kabupaten Karawang yang tengah gencar sosialisasi Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) akan mengadakan “Lomba Video Tik tok” berhadiah 10 juta, berkaitan dengan kesehatan melalui aplikasi Tik Tok. Apa tidak ada alat lain selain Tik Tok?
Kita tahu, aplikasi yang tengah booming ini berasal dari China dengan babon perusahaan “ByteDance”, yakni aplikasi sosial media yang mengunggah video pendek berdurasi 15 detik atau lebih. Diciptakan oleh Zhang Yiming, lulusan Universitas Nankai dengan jurusan Software Engineer.
Tik Tok mulai diperkenalkan tahun 2016, popularitasnya mulai meledak di 2019.
Di Indonesia, banyak orang yang tidak setuju atas keberadaan aplikasi ini, sebab tampilan Tik Tok lebih banyak video menari atau dance, si pengguna berpenampilan senonoh bahkan banyak konten yang bertentangan dengan budaya ketimuran khususnya budaya Nusantara, tentu dianggap tidak mendidik oleh masyarakat yang masih keukeuh dengan adat dan adab ketimuran.
Para pakar dan.tokoh pun menyoroti aplikasi ini berdampak sosial yang besar. Diantara efek negatif itu ialah menciptakan kebiasaan “kesenangan” namun hablur, meminjam pernyataan Ben Agger (salah satu pemikir sosial mazab Frankfurt) bahwa masyarakat kita kadang kala menempatkan budaya populer (budaya pop) ini di atas norma-norma “ketidakwajaran” – dengan alasan membuang rasa jenuh lantaran kerja saban hari.
Si pengunggah konten melakukan goyangan, gerakan, tarian-tarian erotis dan kadang di luar kendali, berpakaian seksi, bernyali pamer bagian vital tubuh dengan balutan celana leging, tanktop dan sebaginya, ironisnya banyak dilakukan kaum Hawa, dan konyolnya melibatkan anak-anak di bawah umur bahkan balita.
Di sini “degradasi” berawal. Penggunaan video-video yang mengandung konten pornografi tersebut yang dulu ditolak keras oleh banyak kalangan kini kayak candu, hingga proses “produksi kepuasan individu” yang menyuburkan nilai-nilai “amoral” di masyarakat yang dapat menghasilkan dekandensi moral khususnya bagi generasi muda.
Ariel Heryanto, Sosiolog Indonesia dalam bukunya “Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia”, mengatakan: “Menjadi amat jelas bagaimana media baru telah campur tangan dan membentuk ulang sosial kehidupan kita di seluruh dunia dalam berbagai kadar.”
Lalu bagaimana sikap kritis pemerintah kita (dalam hal ini Dinas kesehatan Kab. Karawang) mau ikut menggiring generasi ke arah “dekadensi” demi suksesnya sebuah program atau ada jalan bijak untuk tetap menjaga generasi muda SEHAT MENTAL, tidak hanya jasmani dan tempat tinggal kita? Alangkah bijaksana jika kita merenungkan kembali, sebelum perhelatan akbar itu digelar, dan sebelum kehilangan satu generasi. (JunBiull)